Senin, 12 Januari 2009

Hasil Penelitianku Bersama Sri

Nama saya adalah Anis yang tentunya sudah tidak asing lagi bagi teman-teman yang suka membaca cerita porno di situs 17Tahun.com, sebab saya termasuk anggota yang seringkali menyumbangkan cerita porno di situs ini. Namun kisah yang akan saya tawarkan untuk di muat kali ini adalah betul-betul pengalaman nyata yang baru saja 2 pekan lalu kualami.

*****

Ceritanya bermula ketika aku disodorkan sebuah judul skripsi atau thesis oleh seorang mahasiswi untuk dibantu penyusunannya dengan alasan ia sendiri punya keterbatasan untuk menyusunnya, baik karena kurang memiliki buku-buku rujukan maupun belum pengalaman menyusun, apalagi dengan ketikan komputer. Karenanya, lewat informasi dariteman-temannya, ia (sebut saja namanya Sri) datang ke rumahku menawarkan sebuah judul yang sudah diterima oleh ketua jurusannya untuk dibahas lebih lanjut.

Karena profesiku sehari-hari memang bergerak di bidang jasa pengetikan komputer dan penyusunan karya ilmiah, termasuk bimbingan penyusunan karya ilmiah, maka tentu aku berusaha untuk tidak menolak tawaran itu, meskipun waktu penyelesaian yang diberikan hanya seminggu. Tanpa pikir panjang, aku langsung menerima tawarannya dengan biaya yang tertera dalam formulir pesanan yang telah kusediakan.

Setelah selesai mengisi formulir pesanan yang kusodorkan, lalu kuamati identitas dan judul yang ditulisnya dalam formulir itu. Aku berpikir bahwa judul tersebut termasuk agak berat ringan, namun bisa diakali atau spekulasi, sebab menyangkut problem yang banyak dibicarakan oleh masmedia dewasa ini. Redaksi judulnya adalah "Perselingkuhan dan Dampaknya terhadap Keharmonisan Rumah Tangga". Buku-buku yang membahas tentang perselingkuhan, masih sangat terbatas di kota tempat tinggal kami (sebut saja kota Wp) yakni salah satu kota kabupaten di Sulsel.

"Wah berat sekali judulnya ini, bisa nggak mencari buku-buku rujukannya," kataku setelah membaca isi formuliar pesanan yang telah ia isi itu.
"Nanti kuusahakan cari buku rujukannya kak," janjinya.
"Tapi judul ini nampaknya perlu juga penelitian lapangan dik, karena menyangkut problem rumah tangga yang nggak sulit ditemukan faktanya di daerah kita ini. Lagi pula saya yakin buku rujukannya sangat terbatas, sehingga perlu ditunjang dengan hasil wawancara atau angket," alasanku.
"Jadi bagaimana caranya kak? Apa aku harus wawancara dengan mereka yang selingkuh?" tanya Sri sambil ketawa seolah ia malu melaksanakannya.

Dan memang harus dimaklumi karena ia masih tergolong gadis pemalu. Sri merupakan sosok wanita yang sedikit kalem, sikap dan penampilannya cukup sederhana. Tubuhnya langsing dengan wajah berseri-seri.

"Apa adik nggak mampu melakukannya atau malu?" tanyaku singkat.
"Aku sangat malu kak, palagi bicara soal rumah tangga, tentang selingkuh lagi, khan nggak enak rasanya kak" katanya terus terang.

Setelah kupikir dan pertimbangkannya, aku lalu menawarkan jalan lain.

"Gimana kalau anda beri surat kuasa padaku, biar aku yang wawancara sama teman atau orang lain yang kuketahui selingkuh," tawaranku padanya.
"Wah, malah itu jalan yang terbaik kak. Buat aja surat kuasanya kak, nanti kutandatangani. Soal biaya yang kakak keluarkan sehubungan dengan penelitian ini, aku siap tanggulangi semuanya asal bukan saya yang disuruh melakukannya," katanya seolah gembira sekali menyambutnya.
"Tapi terus terang aja dik, mungkin aku hanya minta kepada mereka agar bersedia menandatangani surat keterangan penelitiannya. Soal kejadian dan dampaknya, biar aku yang rekayasa kalimatnya," jelasku pada Sri.
"Nggak masalah kak. Yang penting karya ilmiahku bisa selesai dan ditandatangani oleh pembimbing serta aku bisa ikut ujian meja bersama teman-teman dalam waktu dekat ini," katanya pasrah padaku.

Saat itu pula aku langsung ketik suarat kuasanya lalu ditandatangani oleh Sri, kemudian ia minta izin pulang setelah aku mencatat Nomor telepon rumahnya. Setelah lima hari kemudian, aku sudah menyusun dengan matang konsep yang akan aku jalankan lebih lanjut. Aku hubungi dan minta agar Sri datang ke rumah pada pukul 19.00 wita guna membicarakan soal penyelesaian karya ilmiahnya. Sementara aku makan malam bersama keluarga, terdengarlah ada orang yang mengetuk pintu. Aku yakin itu pasti Sri. Istriku segera keluar membukakan pintu, ternyata betul Sri datang sebelum jam 19.00 wita. Mungkin ia anggap panggilanku itu sangat penting, apalagi menyangkut soal penyelesaian karya ilmiahnya.

"Silahkan duduk dik," kata istriku setelah Sri masuk.
"Langsung aja gabung di sini dik, kita makan sama-sama," teriakku dari dalam ruang makan.

Istriku tidak pernah curiga dan cemburu terhadap setiap wanita yang datang kerumah, karena tujuannya sangat jelas.

"Terima kasih kak. Teruskan aja makannya. Aku baru aja makan di rumah," teriak Sri dari luar setelah ia duduk di kursi tamu yang tersedia.
"Begini Sri, aku sengaja memanggilmu ke sini untuk membicarakan soal kesimpulan penelitian yang akan saya muat dalam karya ilmiah anda. Aku takut kerja dua kali. Jadi sebelum aku muat, aku mau minta tanggapan dan keputusanmu dulu," jelasku ketika aku selesai makan dan duduk berhadapan dengan Sri.

Sementara istriku masih sementara makan bersama dengan dua orang putraku. Kupikir mereka masih lama di ruang makan, sebab ia pasti meneruskannya dengan cuci piring, bikin air panas buat aku dan Sri. Masih banyak kesempatan yang bisa kami gunakan untuk bicara secara bebas tanpa mengundang kecurigaan dari istriku.

"Atur sajalah Kak mana baiknya. Aku serahkan penuh keputusannya semua pada kak, karena kakaklah yang lebih tahu mengenai hal ini semua," katanya pasrah, meskipun ia belum tahu niat dan spekulasiku memanggilnya.
"Sri, terus terang dik.. Ada sesuatu yang akan saya tawarkan padamu, tapi aku malu dan takut kamu tersinggung dan marah padaku," kataku pada Sri dengan suara sedikit pelan karena takut kedengaran istri.
"Katakan saja kak, aku nggak akan tersinggung kok, apalagi marah. Itu bukan watakku. Lagi pula kenapa mesti marah jika memang itu adalah kepentingan penyusunan karya ilmiahku. Aku siap bantu Kak sepanjang aku mampu," kata Sri tanpa ragu dan berpikir curiga atas maksudku.

Meskipun penuh keraguan, bahkan bisa beresiko buruk jika Sri tidak setuju, namun tetap aku beranikan diri menyampaikan niat bejatku.

"Bbbegini Dik Sri, maaf sekali lagi. Penelitian kita tidak boleh semua rekayasa dan mesti ada sedikit data pembuktian. Sementara aku sangat kesulitan mendapatkan bukti otentik, karena jarang sekali pria mau mengakui perselingkuhannya dan juga sulit ditemukan istri yang mau mengungkapkan secara jujur akibat yang dirasakannya dari perselingkuhan suaminya," paparku menjelaskan alasanku pada Sri.

Setelah terdiam, tunduk dan berpikir sejenak, maka Sri pun bertanya.

"Jadi kira-kira bagaimana baiknya Kak agar kesulitan Kak bisa teratasi"
"Rela nggak berkorban demi penyelesaian karya ilmiahnya dik?" tanyaku.
"Sepanjang aku mampu, tentu saja aku akan usahakan kak. Khan sudah berulang-ulang kali kukatakan pada kak," katanya sedikit tegas, namun entah apa ia tahu apa yang akan kuminta darinya atau sama sekali tidak terpikir olehnya.

Tapi nampaknya ia tidak ragu-ragu mengatakannya.

"Betul? Janji?" tanyaku tegas sambil mengulurkan tangan untuk salaman dengannya sebagai tanda perjanjian kami. Sri pun menyambut tanganku.
"Mumpung istriku masih di dalam Sri, kita bisa atur strateginya saat ini juga, sebab tawaranku ini sangat rahasia dan hanya kita berdua yang bisa ketahui," kataku sangat pelan dan hanya bisa didengar oleh Sri.

Setelah terdiam, tunduk dan berpikir sejenak, maka Sri pun bertanya.

"Jadi gimana caranya kak? Rahasia bagaimana yang Kak maksudkan. Katakan aja sekarang agar aku tidak penasaran untuk mendengarnya," desaknya.
"Aku akan menulis pertanyaan rahasia itu di komputer dan kamu menjawab langsung dengan kata 'ya' jika setuju dan 'tidak' jika tidak setuju ketika aku bertanya padamu begini?"
"Kamu harus pura-pura membacakan isi sebuah buku tentang kehidupan rumah tangga yang harmonis, sebab kebetulan judul buku itu ada di sini dan aku seolah-olah menulis apa yang kamu bacakan, meskipun sebenarnya yang kutulis di komputer nanti adalah sejumlah pertanyaan yang harus kamu jawab 'ya' atau 'tidak'" jelasku pada Sri meskipun ia tidak segera memahami maksudku, namun setelah aku menjelaskannya beberapa kali, akhirnya iapun mengerti.

Setelah kami sepakat untuk melakonkan sandiwara itu di depan komputer, kamipun saling terdiam tanpa saling memandang. Namun sikap kami itu tidak berlangsung lama sebab istriku tiba-tiba muncul membawa 2 cangkir air teh buat kami. Istriku tidak nampak ada rasa curiga pada kami, malah dia bercanda karena ia tidak sempat bikin kue buat Sri.

"Silahkan diminum dik, kebetulan nggak ada tulangnya nih," canda istriku.
"Terima kasih bu', aku merepotkan aja," kata Sri pada istriku.
"Silahkan diminum dulu dik, atau kita bawa aja masuk di kamar komputer sambil anda membacakan datanya biar proses penyusunannya agak cepat," kataku dengan suara yang sedikit besar agar didengar langsung oleh istriku yang sedang duduk di sampingku sambil aku berdiri membawa secangkir teh masuk ke kamar kerjaku dan disusul pula oleh Sri setelah minta izin sama istriku, bahkan istriku sendiri yang membawakan tehnya dan meletakkannya di atas meja komputer lalu minta izin pada kami untuk nonton acara TV Sinetron kesukaannya yakni Kehormatan di ruang dalam.

"Silahkan dibaca dik," kataku sengaja memperdengarkan istriku yang sedang berbaring di depan TV.

Sementara Sri duduk di kursi yang telah kusiapkan kurang lebih 50 cm di samping kananku dan aku sendiri duduk persis di depan layar komputer. Sri membaca isi buku yang dipegangnya kata demi kata layaknya orang yang mendiktekan, namun aku tidak menulis apa yang dibaca, melainkan aku mulai buat pertanyaan buat Sri.

"Begini tulisannya?" kataku seolah menulis apa yang dibaca itu, namun aku menuliskan pertanyaan bahwa "Apa anda siap duduk di situ hingga jam 10 malam?" tulisku di layar komputer.
"Ya," jawab Sri di sela-sela kalimat yang dibacanya.
"Begini?" tanyaku lagi sambil menulis pertanyaanku, "Anda bisa maju dan bergeser ke arahku agak lebih dekat lagi?"
"Ya," jawab Sri lagi sambil menggeser kursinya agak lebih dekat lagi.

Meskipun yang kedengaran dari mulutku hanya kata "begini", namun pertanyaan yang kuajukan ke Sri lewat layat komputer banyak sekali. Hampir semua pertanyaanku dijawab dengan kata "ya" oleh Sri, termasuk pertanyaanku tentang apa Sri sudah punya pacar, pernah jatuh cinta, pernah dirasakan belaian pria, pernah dipegang tangannya, rambutnya, wajahnya, pahanya, payudaranya oleh pacarnya. Bahkan Sri juga mengiyakan pertanyaanku soal cium mencium dengan pacarnya.

Namun ketika pertanyaanku mengarah lebih dalam lagi, terutama soal pernah tidur bersama dan bersetubuh dengan pacarnya, maka tiba-tiba ia jawab dengan kata tegas "Tidak". Komunikasi kami berjalan lancar meskipun yang kedengaran keluar dari mulutku hanya kata "begini atau begini tulisanya?", lalu dijawab oleh Sri dengan kata "ya atau tidak" hingga waktu tidak dirasa sudah menunjukkan pukul 9.30 malam.

Ke bagian 2

Dari bagian 1

Setelah aku kehabisan bahan dan telah kukorek semua kepribadian Sri, aku lalu minta izin sama Sri untuk masuk buang air kecil sekaligus untuk memastikan keadaan istriku apa ia tidak mengintip atau mencurigai kami dalam kamar kerjaku, meskipun pintu ruanganku sengaja kubuka agar tidak ada rasa curiga dari istriku. Ternyata anak dan istrikut telah tertidur semua di depan TV, sebab kebiasannya memang suka tertidur ketika nonton. Aku sedikit lega dan merasa ada peluang untuk sedikit bereaksi bersama Sri setelah kuketahui kelemahannya. Karenanya, setelah buang air kecil, aku segera masuk dan duduk kembali seperti semula di samping kiri Sri, namun aku sengaja mendorong sedikit pintu agar tidak terlalu terbuka tanpa dilihat oleh Sri.

"Ayo kita lanjutkan sedikit Sri mumpung masih belum larut malam," kataku sambil sedikit bergeser ke arah kursi Sri.
"Begini Sri?" tanyaku dengan tekanan suara yang mulai rendah sambil memperlihatkan sebuah pertanyaan lagi dengan kalimat "Apa pacarmu pernah mengelus-elus pahamu?".
Sri lalu menjawab, "Ya". Namun ia sangat kaget dan tersentak sejenak ketika aku bertanya,
"Seperti ini?" sambil kupegang dan kuelus pahanya yang dilapisi celana panjangnya yang agak tipis dan halus kainnya.
"Yyya.. Ah.. Titidak" jawabnya seolah ketakutan.

Bahkan sempat bergeser dan bermaksud menjauh dariku ketika aku menulis pertanyaan, "Pernahkah pacar anda meremas payudaranya?" lalu kuperlihatkan Sri sambil berkata, "Begini Sri?" sambil aku berbalik menghadap padanya dan segera meremas kedua payudaranya dari luar bajunya.

Kali ini ia tidak melepas kedua tanganku dari payudaranya, tapi ia mencoba berdiri lalu menengok keluar ke arah istriku seolah ia hanya takut sama istriku.

"Tenang Sri, istri dan anak-anakku sedang tidur," bisikku pada Sri ketika ia mencoba menghindar dari perlakuanku, namun ia duduk kembali setelah melihat dengan jelas istriku sedang tidur pulas di depan TV melalui celah pintu yang sedikit terbuka.
"Kenapa harus sampai begini kak? Aku malu, takut dan tidak biasa diperlakukan seperti ini" tanyanya padaku dengan suara sedikit berbisik namun cukup mengerti kalau kami harus bertindak super hati-hati.
"Maaf dik, jika ini terpaksa harus kita lakukan di tempat ini, bukankah adik sendiri yang telah berjanji akan memberikan pengorbanan sesuai kemampuannya asal penyusunan karya ilmiahnya berjalan lancar?" kataku terus terang dan mengingatkan janjinya.
"Wah, ternyata Kak menafsirkan sampai ke situ. Aku nggak pernah berpikir sampai ke hal itu kak, tapi.. " katanya seolah tidak tahu arahku ke situ. Namun aku yakin ia tidak bakal menolak tindakanku lebih jauh karena Sri tiba-tiba berucap "tapi.." yang menandakan adanya peluangku lebih jauh.

Aku sudah berhenti membuat pertanyaan tertulis di layat komputer dan Sri pun meletakkan buku yang dibacanya sejak tadi. Kini kami saling berhadapan dan saling mengerti perasaan serta berkomunikasi langsung, namun suara kami sangat kecil, sehingga hanya kami berdua yang bisa mendengarnya. Kami tentu harus waspada dan takut ketahuan oleh istri jika tiba-tiba ia terbangun. Kami betul-betul berani memanfaatkan kesempatan yang beresiko dan sempit itu.

Sambil mengawasi terbangunnya istri yang sedang tidur, kami juga mengurangi bisikan dan komunikasi. Bahasa yang kami gunakan adalah mimik atau isyarat. Takut sekali bersuara. Tanganku mulai memegang paha Sri dari luar celananya, memegang kedua payudaranya yang terbungkus, merangkul dan mencium pipi lalu leher dan singga di bibirnya. Aku sedikit menikmati kecupan bibir Sri yang menyambut serangan bibir dan lidahku di mulut sampai rongga mulutnya.

"Sri, kita tidak boleh menunda-nunda permainan ini. Kita harus segera tuntaskan siapa tahu istri saya terbangun lalu heran kenapa nggak ada suara-suara kita seperti tadi. Ayo bantu aku dik," bisikku di telinga Sri ketika aku dan mungkin Sri juga terangsang, apalagi tiba-tiba diliputi rasa takut.
"Yah kak, aku takut sekali. Cepat-cepat selesaikan kak," balas Sri seolah menerima baik tindakanku ini.

Sri segera membuka 2 kancing bajunya untuk memberi kesempatan agar aku segera meremas susunya dan mengisap putingnya yang nampak tegang kecoklatan. Akupun tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini dan segera meraih bukit kembar yang putih mulus itu. Sangat mungil karena belum pernah dijamah oleh pria lain kecuali hanya pacarnya yang pernah meremasnya dari luar bajunya, apalagi usianya baru berkisar 20 tahun. Setelah aku puas menjilat, mengisap dan memainkan bukit kembarnya, tanganku berpindah ke bawah yang sudah mulai ada jalan masuk karena telah terbuka kasper celananya dari depan, sehingga tanganku dengan mudah meraba, mengelus dan menekan biji daging yang terasa bergetar-getar yang ada di antara kedua bibir bawahnya.

Karena sepakat akan menuntaskan seluruh permainan kami di kamar kerjaku itu, maka wajar jika kami saling membantu dan memudahkan terlaksananya hajat kami. Tanpa kuminta, Sripun merosot sedikit celananya hingga di atas lututnya. Aku tak sempat melihat apa Sri memakai celana dalam atau dilorit bersama celana panjangnya, tapi yang jelas paha mulus lagi putih itu terlihat dengan jelas, bahkan sampai ke batas pinggangnya. Namun Sri masih tetap dalam posisi duduk berhadapan denganku, sehingga aku sulit melihat dengan jelas barang mewah yang ada di selangkangannya tapi aku bisa meraba dan memainkannya dengan mudah. Mulutku akrab menempel di payudara kirinya, sementara tangan kiriku melekat di payudara kanannya dan tangan kananku tak mau pisah dengan sebuah daging yang tertancap pada dua bibir bawah di antara selangkangannya.

"Ssstt.. Aahh.. Khkh.. Cceepat Kak selesaikan, aku sudah nggak tahan nih," bisik Sri ditelingaku ketika aku semakin memainkan mulut dan tanganku pada kedua alat sensitifnya itu sambil berusaha menurunkan sedikit celananya hingga lutut.
"Sabar dik, aku nggak mau rasanya berhenti dan ingin menikmati sampai pagi," bisikku sambil mempercepat gerakan tangan dan mulutku.

Namun Sri mencubit pinggangku lalu ia segera berdiri dan kedua tangannya langsung membuka ikat pinggang berikut kait serta kasper celanaku dengan lincah sekali. Setelah terlepas, kedua tangannya segera menurunkan celanaku, namun sedikit tertahan karena aku masih duduk di atas kursi, tapi aku sangat mengerti sehingga aku mengangkat pantat untuk memudahkan ia menurunkan celanaku hingga lutut. Tanpa disentuh dan digocok, penisku dengan sendirinya berdiri mengacung bagaikan kepala ular berbisa yang mau mematuk mangsanya. Tanpa perintah atau komando, Sri tiba-tiba duduk di antara kedua pahaku dan meraih ujung penisku lalu mengarahkan ke lubang memeknya yang sedikit basah dan licin itu, lalu merangkul leherku. Ia mulai menggoyang sedikit pinggulnya ke kiri dan kekanan agar penisku dapat dengan mudah masuk ke lubang sasarannya, namun agak sulit. Selain karena vagina Sri ditumbuhi bulu hitam yang cukup lebat, juga memeknya kuyakini belum terbiasa dimasuki benda tumpul seperti yang kami usahakan masuk saat ini.

Aku mencoba membantu untuk memasukkannya dengan memegang penisku serta membuka kedua bibir memeknya dengan kedua tanganku, tapi belum bisa amblas meskipun separohnya sudah mulai masuk dan kurasakan senti demi senti melejik ke dalam, apalahi gerakan pinggul dan tangan Sri tidak mau berhenti. Aku sebenarnya masih ingin menikmati permainan kami dengan lama sekali, tapi tiba-tiba terpikir akan terbangun istriku karena suara kaki kursi plastik yang selalu bergerak-gerak seiring dengan gerakan kami, maka aku konsentrasi lagi untuk menuntaskannya dengan segera. Gerakan pinggulku mengikuti gerakan pinggul Sri dan kami saling menekan masuk hingga akhirnya bisa amblas seluruhnya. Bunyi decak, decik, decukk, cak.. cikk.. cukk pun cukup menyela keheningan malam itu, yang membuat aku semakin khawatir istriku terganggu dan terbangun, sehingga kami mengatur kembali gerakan.

Meskipun pakaian kami hanya terbuka sedikit sekali dan gerakan serta suara kami sangat terbatas, namun cukup bisa kami nikmati permainan kami itu. Bahkan belum pernah kurasakan kenikmatan seperti itu dari istriku. Mungkin karena ini hasil curian atau karena ketidak leluasaan kami yang membuat permainan kami lebih nikmat dan lebih berkesan. Kembali lagi Sri menghentak-hentakkan pantatnya ke pahaku seiring dengan keluar masuknya penisku ke dalam vaginanya, bahkan ia seolah tak sadarkan diri lagi dan gerakannya semakin dipercepat ketika aku mencoba mengangkat sedikit pantatku agak masuknya lebih dalam lagi.

Tanpa berkata apa-apa, Sri terasa gemetar sekujur tubuhnya dan keringatnya yang bercampir dengan keringatku jatuh membasahi kursi tempat dudukku. Akupun mengerti kalau Sri sudah berada di ambang pintu kenikmatan yang luar biasa, maka aku mencoba menahan cairan hangat yang juga mulai terasa menjalar ditubuhku dan mendesak mau keluar lewat penisku. Sri tiba-tiba merangkulku dengan keras, menggigit sedikit bahuku dan mencakar-cakar punggungku, lalu terasa lemas lunglai.

Ketika Sri terasa lemas seolah kehabisan tenaga, aku yakin kalau ia sudah melewati klimaksnya. Kini giliranku untuk mencapainya, lalu aku segera mengangkat tubuh Sri dan memutar sehingga posisi membelakangiku. Mau tidak mau ia terpaksa pegangan di didinding kamar, lalu kutekan sedikit kepalanya agar ia lebih nungging lagi. Setelah terlihat lubang kenikmatannya dengan jelas, aku segera arahkan penisku masuk ke dalamnya dan menekannya agar masuk lebih dalam, lalu kugenjot dengan keras dan cepat bolak balik maju mundur hingga akupun merasakan ada cairan hangat yang kental tumpah ke dalam lubang kenikmatan Sri.

Aku sengaja dan tidak takut akibatnya, sebab zat Sri yang bakal membuahi sudah keluar sejak tadi, sehingga tidak mungkin bisa ketemu dan terbuahi. Hal itu kuyakini sesuai praktek kami bersama istri selama ini. Setelah kami sama-sama mencapai puncak kenikmatan, kami lalu berpelukan sejenak dan saling memberi kecupan sebagai tanda terima kasih dan saling puas. Tanpa menunda waktu sedetikpun, kami segera memperbaiki kembali posisi pakaian kami masing-masing seperti semula lalu duduk sejenak sambil berpandangan dengan senyum puas dan bahagia yang kami rasakan.

Kami sudah tidak konsentrasi lagi terhadap karya ilmiah dan penelitian yang sedang kami proses. Bahkan sebelum istriku bangun, Sri minta izin untuk pulang, tapi aku sempat membisikkan sebuah kalimat di telinganya.

"Sudah mengerti yang namanya selingkuh sayang? Inilah bukti selingkuh yang sebenarnya dan data inilah yang paling otentik dari semua hasil penelitian kita, karena sama sekali bukan rekayasa melainkan betul-betul berdasarkan fakta dan pengalaman nyata kita sendiri," bisikku sambil memberi ciuman terakhir dan merangkulnya sekali lagi dengan eratnya.

Sri hanya membalas dengan senyum dan sedikit cubutan di pinggangku. Sri pun melangkah keluar lalu naik ke motornya seolah penuh bahagia.

*****

Bagi teman-teman yang tertarik dengan kisah nyataku ini, silahkan ikuti perkembangannya, sebab boleh jadi pengalaman ini akan berlanjut terus. Peristiwa yang kuceritakan ini baru awal dan pemanasan, karena hanya kebetulan dan kesempatan kami sangat sempit. Karena itu, meskipun kami belum janjian untuk mengulanginya, tapi mesti kami usahakan mengulangi dalam waktu singkat di tempat yang lebih aman, bebas dan waktu yang tak terbatas. Apalagi karya ilmiahnya masih sementara dalam proses, sehingga kami akan terus berkomunikasi dan saling memberi kenikmatan.

Dari bagian 2

*****

Halo teman-teman para penggemar cerita 17Tahun.com, kembali aku menjumpai anda semua guna melanjutkan kisahku minggu lalu sebagaimana yang telah kujanjikan tentang penelitian karya ilmiah bersama Sri soal arti selingkuh yang sebenarnya.

*****

Setelah kubuktikan pada Sri di kamar kerjaku tentang arti selingkuh yang sebenarnya sesuai judul penelitian karya ilmiahnya, kami memang sepakat untuk mengulanginya kembali dalam waktu singkat di tempat yang lebih memberi ruang keleluasaan. Hanya berselang sepekan, tepatnya Hari Sabtu Sore, aku ke rumah Sri setelah sebelumnya Sri menelponku agar datang ke rumahnya menerima seluruh biaya penyusunan karya ilmiahnya meskipun penyusunannya belum tuntas 100%. Istriku yang menerima telpon itu nampak gembira dan meminta saya agar segera ke rumah Sri menerima uangnya, apalagi istriku saat itu sangat membutuhkan uang belanja.

"Silahkan masuk kak, pintunya tidak terkunci kok" teriak Sri dari dalam rumah setelah aku mengetuk pintu rumahnya.

Ia seolah menunggu dan lebih dahulu melihat kedatanganku.

"Selamat sore Sri" ucapanku setelah kubuka pintu rumahnya.
"Silahkan duduk kak, tidak usah malu-malu. Saya hanya sendirian kok" kata Sri setelah aku berdiri di ruang tamunya seolah ia sengaja agar aku tidak segan-segan bertindak dan berbicara dengannya.
"Ke mana semua keluarga Sri? Kok kamu berani sendirian di rumah?" tanya aku ketika sedang duduk di kursi sofanya yang empuk itu.
"Mereka semua jenguk nenek yang sedang sakit di kampung kak," katanya.
"Tapi adik Sri memang terbiasa ditinggal sendirian di rumah?" tanyaku.
"Wah itu soal biasa kak. Khan nggak ada yang ditakutkan sebab di sini cukup aman, lagi pula di lingkungan ini cukup ramai" jawabnya lagi.

Setelah aku berbincang panjang lebar soal umum dan soal pribadi Sri serta keluarganya sambil menikmati hidangan kue yang sejak tadi menunggu di atas meja, Sri lalu memandangku dengan tajam, lalu mekangkah ke dekat pintu dan menguncinya rapat-rapat. Aku hanya terdiam sambil memperhatikannya. Dalam hati kecilku bertanya ada maksud apa Sri memanggilku ke rumahnya setelah kedua orangtua dan keluarga lainnya di rumah itu sedang tidak ada. Jangan-jangan ia menipuku atau ingin melanjutkan peristiwa singkat dalam kamar kerjaku minggu lalu itu.

"Kak, kita ke atas yuk, di sini nggak aman dan bebas kok, sebab sedikit-sedikit ada tamu yang datang jika mereka ketahui ada orang di dalam rumah. Maklum bapak khan pengusaha yang luas jaringannya" kata Sri lembut sekali setelah menutup pintu dan mencabut kabel telpon rumahnya dari pesawatnya.

Ia segera menarik tanganku dan menuntunku ke lantai atas rumahnya di mana kamar belajarnya berada. Aku hanya menuruti apa yang dimintanya, lagi pula aku senang dan gembira mau terima uang dari Sri, yah syukur-syukur jika ia bersedia memberi bonus khusus buatku.

Setelah aku dipersilahkan duduk di kursi yang ada dalam kamarnya, Sri lalu duduk di atas rosbannya yang cukup rapi dan tertata dengan seprei berwarna biru yang dihiasi sulaman kembang berwarna kuning emas. Baunya yang harum menyengat ke hidungku hingga aku terpesona dan sedikit menikmati suasana damai, tenang dan bahagia dalam ruangan itu seolah mengingatkanku di malam pertama ketika aku masih pengantin baru.

Sore itu aku hanya termangu memperhatikan suasana yang ada dalam kamarnya tanpa aku banyak bicara. Sesekali memperhatikan tubuh Sri yang terbungkus baju warna putih dengan celana kain setengah panjang yang agak tipis namun indah dan bersih sekali lagi harumnya yang tidak mau hilang di hidungku. Aku sangat berat, segan dan malu diperlakukan seperti raja oleh Sri, apalagi selaku orang yang punya istri, tentu takut bertingkah macam-macam di depan Sri yang serba istimewa.

"Sri, aku tidak bisa lagi menggambarkan bagaimana perasaanku saat ini berada dalam kamar bidadari. Sungguh aku mempunyai keberuntungan luar biasa bisa kenalan dan berhubungan dengan adik. Aku diperlakukan seperti raja diraja. Aku sangat menyesal kawin terlalu cepat" ucapanku mengagumi segala apa yang kurasakan saat itu.

Mendengar ucapanku itu, Sri hanya menatapku tajam sambil tersenyum sesekali pandangannya turun ke arah selangkanganku. Aku bisa membaca maksiud isi hatinya, tapi aku tetap pura-pura bersikap pasif. Sri seolah tidak memperlihatkan rasa malu, segan dan takut lagi di depan saya setelah ia mengetahui kebejatan moral saya. Bahkan nampak ia lebih berani dan lebih aktif di depanku.

"Kak, aku tidak pernah menyangka bisa menikmati hubungan sex bersama dengan orang yang selama ini kukagumi. Aku sebenarnya bahagia tapi sekaligus menyesal karena kehormatan dan keperawananku terpaksa kuserahkan dan dinikmati oleh suami orang lain yang tidak mungkin bisa kumiliki sepenuhnya. Padahal pria yang kusayangi selama ini berkali-kali mendesak dan meminta tapi aku tetap mempertahankannya dengan alasan melanggar norma-norma agama, nanti setelah nikah dan berbagai macam alasan lainnya. Kenapa ini terjadi Kak dan kenapa bukan pada saat Kak masih bebas menentukan pilihan? Kenapa kak, kenapa dan kenapa.." tiba-tiba Sri berbicara terbuka, panjang lebar dan penuh dengan kesedihan.

Dengan suara tangis terisak-isak yang ditandai air mata membasahi pipinya, aku yakin Sri sangat menyesal dan tidak mampu menolak keinginan bejatku ketika aku menunjukkan bukti perselingkuhan di kamarku ketika itu. Ia berkali-kali berteriak mempertanyakan nasibnya sambil memeluk dan mencium pipiku sehingga bahu dan pipiku juga ikut basah oleh air matanya.

"Sri, aku mohon maaf Dik sayang. Aku khilaf ketika itu dan aku terlalu bernafsu melihat kecantikanmu. Apalagi sikap kelemah lembutanmu di depanku membuatku terangsang, karena hal seperti sulit kudapatkan dari istriku yang sedikit keras dan kasar sikapnya. Sekali lagi maaf dik, aku juga ikut menyesali sikapku yang kurang ajar dan kurang mengerti diri. Maukah kamu memaafkan kesalahanku sayang..?" kataku menyampaikan rasa penyesalanku sambil mengelus rambut dan pipinya yang masih bersandar ke bahuku.

Cukup lama kami saling merangkul. Namun di sela-sela rangkulan itu, kami seolah tersengat seteron listrik. Kami bukan menyesali dan menghindari terulangnya peristiwa itu, malah kami saling berpagutan tanpa kuketahui siapa yang memulai. Sri lahap sekali mencium dan mengisap bibir dan lidahku. Akupun memberikan sambutan yang sama. Tangan kami saling bergerak lincah menggerayangi tubuh masing-masing secara berlawanan. Kali ini, sedikitpun tidak ada rasa malu, ragu dan takut ada orang lain yang mengetahuinya, sebab pintu rumah Sri terkunci rapatb dan kamipun berada di lantai atas sehingga suara kami sulit terdengar oleh orang lain sekalipun kami berteriak keras.

Meskipun aku sedikit sadar dan mengingat apa yang baru kami sesali, namun aku sengaja tidak mau mengingatkan Sri, sebab aku lagi senang dan juga hal seperti ini sudah terlanjur kami lakukan. Tanpa kusadari, Sri sudah membuka kancing bajuku dan melepaskan dari tubuhku. Ia menyerang sangat lincah dan seolah lupa segalanya. Ia menyapu seluruh tubuhku dengan ciuman dan jilatan, mulai dari wajah, dagu, leher, bibir dan mulut hingga ke pusar. Tangannya sangat aktif merangkul dan meraba-raba tubuhku hingga masuk ke selangkanganku dari atas ke dalam celanaku. Akupun tidak mampu menahan tangan yang sejak tadi bergerak-gerak ingin memegang benda-benda kenyal dan langkah ditemukan di pasaran yang ada pada tubuh Sri. Meremas-remas kedua payudara Sri yang masih keras dan ukuran sangat sederhana, membuka kancing baju dan BH serta mengelus-elus kelentit Sri yang mungil lagi keras adalah menjadi aktifitas khusus kedua tangan saya tanpa komando dari siapa-siapa. Semua ini kami lakukan dalam keadaan berdiri di depan tempat tidur Sri.

"Kak, cepat kak. Aku sudah tak tahan lagi. Ayo Kak cepat," bisik Sri berkali-kali di dekat telingaku.

Nafasnya terasa hangat sekali dipipiku.

"Sabar sayang, aku akan memberikan kenikmatan luar biasa hari ini. Kali ini kita bebas, aman dan tak ada gangguan sedikitpun untuk menikmati segalanya. Sabar sayang.. Aku pasti memuaskanmu" bisikku sambil melonggarkan ikat pinggangku agar Sri mudah memasukkan tangannya.

Sri nampaknya tidak sabar lagi. Ia kali ini menurunkan celanaku lalu menarikku naik ke atas tempat tidur setelah aku betul-betul telanjang bulat. Aku turuti saja kemauannya, bahkan setelah ia duduk di pinggir tempat tidur, aku segera menarik celananya turun hingga terlepas semua dari tubuhnya. Kini kami berpelukan dalam keadaan bugil tanpa sehelai kainpun di tubuh kami. Aku merebahkan tubuhnya ke atas kasur dengan kedua kaki tetap tergantung namun kedua pahanya agak terbuka, sehingga terlihat dengan jelas vaginanya yang basah, bersih dan agak montok, bahkan biji yang tumbuh di sela-sela lubang kemaluannya itu nampak menantang dan indah.

"Ayo kak, masukkan cepat kak. Aku ingin sekali menikmati burungmu itu. Aku sangat ketagihan. Cepat kak, ayo kak," kembali Sri meminta aku memasukkan penisku ke dalam kemaluannya yang sudah basah dan sedikit terbuka itu.

Berkali-kali ia memintaku dengan nafas terengah-engah seolah sesak. Bahkan kali ini ia meraih penisku dan menuntun ke arah memeknya, tapi aku tetap menahannya dan mermbiarkan ia semakin penasaran agar kami bisa bermain lebih lama di kamarnya. Berkali-kali pintu rumahnya terdengar diketuk-ketuk orang, tapi Sri tetap tidak peduli. Ia yakin kalau itu hanya tamu bapaknya, sementara bapaknya besok baru pulang karena baru tadi siang berangkatnya. Ia konsentrasikan dirinya pada kenikmatan yang ia harapkan segera kuberikan. Setelah aku puas memainkan lidah, bibir dan mulutku pada seluruh tubuhnya, terutama pada rongga mulut, payudara dan rongga kemaluannya, lalu secara pelan-pelan ujung penisku menyentuh bibir vaginanya, sehingga pinggulnya terangkat-angkat secara otomatis dan sesekali merangkul pinggulku dan menariknya turun, namun tetap kupertahankan untuk tidak terburu-buru.

Karena lincahnya menggerakkan dan memutar pinggulnya kiri kanan, maka pertemuan kedua benda asing itupun sulit dihindari. Bahkan secara tidak sengaja kepala penisku masuk dan nempel ke lubang vaginanya bagaikan ditarik oleh sebuah magnit. Akupun rasanya sulit lagi memancing dan menarik keluar, sehingga perlahan tapi pasti ujung penisku menyelusup masuk sedikit demi sedikit hingga amblas seluruhnya. Gerakan refleks pinggul kami secara otomatis berputar dan maju mundur mengikuti aliran kenikmatan yang kami rasakan masing-masing. Suara desiran dan lenguhan dari mulut kami berdua tidak bisa lagi tertahankan sebagai pertanda kami mengalami kenikmatan yang tiada taranya.

"Auh.. Uuuhh.. Ssstt.. Aduhh.. Aakhh.." suara itulah yang senantiasa mewarnai kesunyian dalam ruangan itu. Untungnya suara kami tidak dapat terdengar oleh tetangga Sri, sehingga keluar secara bebas mengikuti alur kenikmatan tanpa kami mengontrolnya.

"Kak, aku nikmat sekali. Gocok terus kak. Jangan berhenti, aduhh.. Ahkhkh.. Uhh.. Mmmhh" ucapan Sri ketika aku semakin mempercepat gerakan pinggulku dan sesekali berhenti sejenak karena capek.

Namun, gerakan maju mundur sulit sekali kami lakukan karena kedua kaki Sri melingkar kepunggungku dengan eratnya, sehingga aku hanya mampu memutar kiri kanan. Tangan Sri terus merambah ke seluruh tubuhku, bahkan terkadang menjambak rambutku. Sementara tanganku juga bergerak terus mencari sasaran yang lebih nikmat. Kadang meremas-remas kedua payudara Sri dengan kerasnya dengan maksud agar Sri mau menurunkan kedua kakinya yang melingkar, tapi tetap saja seolah sudah diikat.

"Kak, rasanya aku mau keluar. Aku tak mampu menahan lagi. Biar yah kak? aahh.. Ukhh.. Iiihh.. Mmmhh.. Aaakhh" kata Sri dengan suara seolah tidak ditahan-tahan lagi.

Aku hanya mengangguk sebagai tanda persetujuanku. Ia sedikit berteriak ketika aku berusaha mendorong keras penisku sehingga terasa menyentuh benjolan daging dalam rahimnya. Bersamaan dengan gerakan cepat dan kerasku itu, sekujur tubuh Sri terasa gemetar. Tangannya dengan keras menjambak rambutku serta mencakar-cakar punggungku. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena saat itu pula kurasakan ada cairan hangat menyelimuti seluruh batang penisku, lalu ia melepaskan jepitan kedua kakinya di punggungku dan jatuh dengan lemas ke lantai bersamaan dengan melemasnya seluruh tubuhnya. Aku kira ia pingsan, tapi setelah kurasakan nafas dan detak jantungnya yang keras, aku yakin kalau ia hanya capek dan setengah sadar akibat kenikmatan.

Ke bagian 4

Dari bagian 3

Setelah Sri tidak berdaya lagi, aku berdiri lalu mengangkat kedua kaki Sri ke atas tempat tidur sehingga terlentang, meskipun penisku belum menumpahkan cairan kenikmatan yang kental, namun aku biarkan saja dulu Sri istirahat karena waktu masih panjang yakni baru jam 7.30 malam. Kami berada di rumah itu sekitar 3 jam lebih. Alasan keterlambatanku pada istri, bisa kupikirkan sebentar setelah aku menyelesaikan tugas utamaku di kamar Sri. Sambil Istirahat, aku membakar sebatang rokok, biar lebih santai dan sedikit bijaksana pada Sri yang terlalu capek.

Sepuluh menit kemudian, aku semakin penasaran ingin merasakan nikmatnya jika penisku masuk dan memuntahkan peluru ke dalam vagina Sri. Aku sengaja bermaksud memuncratkan spermaku ke dalam vagina Sri karena pengalamanku menunjukkan lebih nikmat dibanding muncrat di luar, apalagi aku tidak takut dibuahi oleh zat telur Sri, karena ia sudah keluar duluan. Karena itu, niatku hanya memuaskan diriku sendiri dengan cepat setelah Sri mengalaminya, agar ia tidak tambah capek lagi.

"Maaf kak, aku tertidur. Kukira Kakak juga tidur. Aku betul-betul tidak sadar tadi. Mungkin karena terlalu dibuai kenikmatan" kata Sri padaku ketika ia terbangun dan melihatku memainkan puting susunya dengan mulut dan tanganku secara bergantian.

Aku sangat terangsang memandang seluruh lekuk-lekuk tubuhnya yang telanjang bulat sejak tadi sambil mengisap rokokku. Setelah Sri memeluk tubuhku dan mencium pipiku, ia bertanya:

"Apakah Kak juga merasa puas seperti aku?" tanya Sri serius.
"Aku puas menikmati tubuhmu dik, cuma aku belum sampai ke puncaknya" jawabku sambil memeluk Sri dan meletakkan paha kananku menindis vagina montoknya yang belum banyak ditumbuhi bulu-bulu itu.
"Jadi Kak mau lanjutkan untuk menuju ke puncak sekarang" tanya Sri sambil tersenyum, lalu kembali memelukku dengan erat.
"Sebelumnya aku mohon maaf Dik Sri. Banyak sekali teknik dan gaya sex yang ingin kutunjukkan padamu, tapi kulihat Sri sudah terlalu capek dan sudah cukup menikmati perselingkuhan kita hari ini, maka aku rasa adik tidak keberatan jika ronde kedua ini hanya untuk kenikmatan pribadiku" kataku hati-hati pada Sri agar ia tidak tersinggung.
"Terima kasih Kak atas kebijaksanaannya. Aku justru senang dan merasa berkewajiban melayani Kak hingga puncak kepuasan. Masa sih aku senang sendiri membiarkan Kak pulang dengan rasa penasaran tanpa kesan puas" kata Sri pasrah, bahkan merasa berkewajiban untuk memuaskanku.
"Terima kasih Dik atas kesediaannya, mm.. Cup.." kataku lalu mengecup bibirnya berkali-kali sebagai tanda kegembiraanku.

Burung kenikmatanku yang berdiri mengacung sejak tadi, seolah memaksa tanganku untuk membalikkan tubuh Sri ke posisi nungging. Sri pun pasrah menerima tindakanku. Namun karena ia masih lemas, ia hanya bisa rapatkan wajahnya ke kasur dengan pantat diangkat tinggi-tinggi. Kali ini aku tidak banyak mempermainkan tubuhnya, karena aku memang tidak bermaksud memuaskannya. Kebutuhanku cuma satu yaitu menumpahkan spermaku ke dalam vaginanya. Penisku yang berdiri keras segera kuarahkan masuk ke lubang vaginanya dari belakang dan ternyata bisa masuk dengan mudah karena posisi pinggulnya terangkat tinggi-tinggi lagi pula masih sedikit basah sebab belum sama sekali ia melapnya sejak peristiwa yang baru ia alami.

"Kak, agak sakit kak. Aku kurang enak melakukan posisi seperti ini. Gimana kalau Kak tidur terlentang lalu aku yang aktif menduduki burung kak? Nggak keberata khan?" tawaran Sri seolah tidak suka nungging.
"Tidak masalah dik. Posisi apa saja asalkan Kak bisa muncrat" kataku sambil mengeluarkan penisku dari dalam vaginanya dan terus tidur dengan sedikit mengganjal pinggulku dengan bantal kepala agar posisi penisku bisa lebih ke depan dan terasa lebih panjang masuk ke vaginanya.

Sri mulai mengangkangiku sambil menguak kedua bibir vaginanya dengan kedua tangannya, sementara aku membantu mengarahkan penisku agar lebih mudah masuknya. Ternyata betul, tanpa kesulitan sedikitpun, penisku masuk menyelusup damn amblas seluruhnya. Aku tidak tahu apakah Sri juga bisa merasakan kenikmatan atau tidak, tapi aku merasa nikmat sekali. Penisku terasa seolah dipijit dan diurut oleh sesuatu benda halus dan hangat.

Loncat-loncat sambil memutar pinggulnya nampaknya sudah jadi aktifitas khusus bagi Sri saat itu. Kepalanya melenggok kiri, kanan, maju dan mundur dengan rambut terurai. Nafas terengah-engah pertanda capek. Aku hanya membantu dengan mengangkat pinggul mengiringi gerakan pinggulnya. Sri nampaknya memaksa kekuatannya untuk memuaskanku semakin lama semakin cepat gerakannya. Beberapa menit kemudian, aku mulai ada tanda-tanda mau muncrat. Terasa dari cairan hangat mulai mendesak keluar seolah mengiringi aliran darahku. Tubuhku mulai mengejang yang dibasahi keringat.

Semakin lama, semakin cepat dan semakin keras gerakan Sri, rasanya semakin mengejang pula seluruh saraf-saraf kenikmatanku. Cairan hangat yang terasa dari ujung perutku semakin sulit ditahan dan dibendung, apalagi aku tidak bermaksud menahannya sebab itulah yang ketunggu-tunggu sejak tadi.

Suara "Auh.. Uuukkhh.. Aiihh" itulah yang senantiasa terdengar dari mulutku, sementara Sri hanya terdiam, namun tidak pernah berhenti bergerak dan bergoyang pinggul di atasku.

"Sri, terus, cepat, semakin keras lagi, ayo terus," pintaku dengan napas terputus-putus pada Sri.

Namun baru aku mau minta izin pada Sri agar aku bisa keluarkan spermaku ke dalam vaginanya, sperma itupun tumpah dengan sendirinya tanpa bisa lagi ditunda setapak pun. Bersamaan dengan itu, aku mengangkat pinggulku dan kepalaku untuk merapatkan tubuhku pada Sri dan meraih kedua payudaranya yang loncat-loncat dengan indahnya sejak tadi serta menarik-nariknya dengan keras. Namun Sri membiarkanku, bahkan ia mulai juga melenguh seolah merasakan suatu kenikmatan. Baru aku mau melemaskan seluruh otot-ototku yang sejak tadi kejang-kejang akibat kenikmatan luar biasa, tiba-tiba Sri menyelusupkan tangannya masuk ke selangkangannya dan memegang penisku yang sedikit mulai loyo seolah ia belum mau keluarkan dari vaginanya. Aku tersentak kaget, karena aku tidak bermaksud membebaninya dengan kenikmatan lagi, apalagi jika sampai terangsang lagi. Bisa-bisa zat kelaminku dibuahinya.

Setelah kuyakini kalau Sri juga mulai terangsang, aku justru khawatir ia bisa kecewa jika tidak bisa sampai ke puncaknya. Aku sama sekali tidak menyangka hal itu bisa terjadi di saat-saat kekuatanku habis terkuras. Aku tidak memiliki lagi modal untuk memuaskannya. Untung saja aku bisa sedikit memaksa agar penisku bertahan di tempatnya mumpun masih ada sisa-sisa cairan di dalamnya sehingga masih sedikit berdiri. Aku membantunya memegang terus dan tidak banyak bergerak agar tidak terlepas dari mulut vaginanya.

Dengan bantuan jari tengahku, aku gerak-gerakkan penisku ke dalam vaginanya dan ternyata Sri bisa menikmatinya. Untung saja Sri sudah berada di ambang pintu kenikmatan sehingga aku tidak perlu terlalu lama memainkan tanganku, apalagi ada kekhawatiran Sri akan kecewa jika aku berhenti tanpa ia puas. Iapun merapatkan wajah dan tubuhnya di atas dadaku sebagai tanda kepuasannya. Aku kembali lega dan bahagia karena ia bisa kembali merasakan kenikmatan kedua kalinya.

Setelah kami bangkit dari tempat tidur itu dan selesai membersihkan kemaluan kami, bahkan mandi bersama dalam kamar mandi khususnya, aku lalu kembali duduk di kursi. Sementara Sri duduk di atas pangkuanku sambil melingkarkan tangannya ke leherku dalam keadaan kami masih bugil

Entah bagaimana pikiran Sri ketika itu, tapi aku tak pernah berhenti memikirkan kalau-kalau Sri hamil, apa jadinya nanti. Kami bisa malu seumur hidup, apalagi jika ketahuan orang banyak.

"Kak, kenapa termenung? Apa Kak kecewa dan tak puas atas layananku tadi atau menyesal memenuhi panggilanku ke sini?" tanya Sri saat aku terdiam sejenak memikirkan akibat perbuatan kami. Teguran Sri membuatku kaget.
"Tttitidak, aku hanya takut kamu tidak puas dan kecewa tadi" alasanku.
"Saya tahu yang Kak pikir, pasti takut aku tidak bayar biaya penyusunan karya ilmiah itu, yah khan?" kata Sri mencoba menebak isi pikiranku.
"Bukan itu dik, aku sama sekali tak pikir ke situ. Lagi pula aku berat dan malu memikirkan hal itu setelah Sri memberiku segalanya" kataku.
"Lalu apa yang Kak pikirkan? Jangan-jangan Kak takut dimarahi istrinya. Jangan khawatir kak, khan masih belum larut malam. Kak bisa buat alasan yang bisa meyakinkan istrinya. Masa sih dekat istri Kak bisa selingkuh denganku, lalu hanya soal pulang terlambat tidak bisa diakali" katanya.

Setelah puas bercumbu rayu di atas kersi, kami lalu sama-sama bangkit dan mengenakan pakaian. Setelah itu, Sri menarik laci mejanya dan mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya lalu menyodorkanku. Setelah beberapa kali kutolak dan kusampaikan rasa beratku, akhirnya aku ambil juga uang itu setelah aku tak berdaya menolaknya. Setelah kuhitung, justru lipat dua kali lebih banyak dari kesepakatanku semuka. Aku berusaha mengembalikan sisanya, tapi ia tetap memaksaku mengambilnya. Berkali-kali kuucapkan terima kasih dan berjanji akan mengenang jasa-jasa baiknya itu, tapi ia hanya senyum, lalu berkata:

"Kak, tolong jangan menolak pemberianku. Aku memberimu itu semata-mata karena bahagia, senang dan bangga bisa menikmati sex pertama kali dari pria yang sebenarnya sangat kukagumi, apalagi mau membantu dalam proses penyelesaian kesarjanaanku. Malah itu belum cukup kak" katanya padaku.

Kami saling berjanji akan memperaktekkan semua posisi sex di lain waktu dan sebelum aku pamit, ia memintaku agar aku menemaninya malam itu agar kami bisa mengulangi hubungan sex kami beberapa kali lagi. Tapi setelah kuutarakan resikonya pada istriku, akhirnya ia mengerti dan mengizinkan aku pulang agar perselingkuhan kami tidak bocor. Bahkan sebelum aku keluar dari pintu rumahnya, ia sempat menciumku dan berkata:

"Kalau aku hamil atau tidak ada laki-laki yang mau mengawiniku akibat hubungan kita ini, apa Kak mau tanggungjawab mengawiniku?" tanya Sri seolah main-main karena ia ucapkan sambil tertawa.

Namun hal itu bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Setelah aku kaget dan merenung sejenak:

"Apa boleh buat dik, itu namanya resiko yang dipertanggungjawabkan. Mudah-mudahan tidak terjadi dik, malah aku akan tanggungjawab carikan jodohnya dengan cepat ha.. Ha.. Ha," jawabku sambil ketawa lalu pergi.

Setelah aku sampai di rumah, aku langsung menyerahkan uang itu pada istriku dan ia gembira sekali karena jumlahnya melebihi kebutuhan mendesaknya. Iapun sempat bertanya soal keterlambatanku pulang, namun seolah tak serius. Aku hanya beralan kalau ayahnya Sri memintaku bincang-bincang soal kemudahan penyelesaian kesarjaan anaknya, meskipun semua itu kebohongan belaka agar ia tidak curiga. Aku lalu ke tempat tidur dan aku memang tidur dengan pulas karena kelelahan.

*****

Bagi teman-teman yang tertarik kisahku ini, silahkan ikuti terus lanjutan kisah seruku bersama Sri, karena hal ini nampaknya agan berlanjut beberapa kali lagi atau jika mau kenalan denganku, dapat menghubungi emailku.

E N D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar